EmitenNews.com -Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan gejolak yang cukup tajam dalam beberapa pekan terakhir. Pergerakan indeks yang naik turun drastis menegaskan bahwa pasar modal Indonesia masih dibayangi ketidakpastian. Pada perdagangan Senin, 1 September 2025, IHSG ditutup melemah tajam sebesar 1,21% atau turun 94,42 poin ke level 7.736,07. Nilai transaksi mencapai Rp 23,51 triliun, dengan volume mencapai 38,77 miliar lembar saham dalam 2,31 juta kali transaksi. Dari total emiten yang diperdagangkan, sebanyak 539 saham terkoreksi, 171 saham naik, dan 99 stagnan. Penyebab utama koreksi hari itu adanya meningkatnya ketegangan sosial dan politik di ibu kota.

Aksi demonstrasi yang berlangsung sejak pekan sebelumnya menimbulkan keresahan besar di pasar modal. Kerusuhan yang disertai pembakaran fasilitas umum dan penjarahan semakin memperburuk sentimen investor. Bahkan, seruan aksi lanjutan tersebut membuat pelaku pasar lebih berhati-hati.

Fenomena koreksi akibat demo sebenarnya sudah terlihat sejak Jumat, 29 Agustus 2025, ketika IHSG sempat melemah 2,04% ke level 7.790 pada sesi perdagangan pagi. Nilai transaksi hari itu mencapai Rp 8,5 triliun dengan volume 23 miliar saham dari 1,05 juta kali transaksi. Kondisi politik yang tidak menentu jelas menjadi faktor non-ekonomi yang bisa berpengaruh terhadap psikologis investor.

Namun, pasar modal tidak pernah bergerak satu arah saja. Pada Selasa, 2 September 2025, IHSG justru mampu rebound sebesar 0,85% ke level 7.801,58 setelah kondisi demo mulai kondusif. Tren positif berlanjut pada Rabu, 3 September 2025, ketika IHSG kembali menguat 1,08% ke level 7.885,86.

Rebound tersebut membuktikan bahwa meskipun sentimen negatif kerap mendominasi, ada fase di mana investor kembali masuk memanfaatkan harga murah (buy on weakness). Pergerakan seperti ini lazim terjadi di pasar modal, di mana volatilitas justru menciptakan peluang. 

Tidak lama setelah kondisi sosial agak mereda, pasar kembali diguncang kabar politik. Pada Senin, 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih, salah satunya mengganti Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa.

Pergantian ini langsung memicu aksi jual besar-besaran, terutama di saham perbankan. IHSG ditutup melemah 1,28% atau 100,49 poin ke level 7.766,84. Bahkan, pada perdagangan intraday, IHSG sempat berbalik arah dari zona hijau ke merah setelah kabar reshuffle beredar. Pada sesi pertama, IHSG masih menguat 0,58% ke level 7.912,95, tetapi menjelang sore langsung terkoreksi tajam hingga lebih dari 1%.

Koreksi berlanjut pada Selasa, 9 September 2025, ketika IHSG ditutup melemah 1,78% ke posisi 7.628,61. Sektor unggulan LQ45 juga turun 1,74% ke 769,93. Investor mengambil sikap wait and see, menunggu kejelasan arah kebijakan Menteri Keuangan yang baru. 

Selain faktor domestik, IHSG juga dipengaruhi dinamika global. Dari Amerika Serikat (AS), pasar tengah menantikan keputusan Federal Reserve (The Fed) yang diprediksi akan memangkas suku bunga acuan setelah laporan ketenagakerjaan melemah. Data inflasi dan Producer Price Index (PPI) yang akan rilis menjadi sorotan utama.

Dari Asia, fokus tertuju pada inflasi dan PPI China untuk Agustus 2025. Kekhawatiran deflasi yang berkepanjangan membuat investor global bersikap hati-hati. Ditambah lagi, tensi perdagangan antara China dan AS kembali meningkat. China bahkan mendesak ASEAN untuk segera menyelesaikan pakta perdagangan bebas yang ditingkatkan guna melawan tarif AS. Situasi ini membuat aliran modal global menjadi sangat dinamis. Investor asing cenderung menunggu kepastian arah kebijakan sebelum masuk kembali secara masif ke emerging market, termasuk Indonesia. 

Menariknya, meskipun IHSG terkoreksi tajam, tidak semua sektor ikut jatuh. Awal September 2025 justru memperlihatkan bahwa beberapa sektor tetap mampu mencatatkan kinerja positif. Sektor transportasi misalnya, mampu menguat sekitar 0,72% didorong oleh kebutuhan logistik dan mobilitas masyarakat yang tetap tinggi meski situasi sosial bergejolak. Sektor consumer siklikal juga tumbuh sekitar 0,68%, karena konsumsi masyarakat relatif cepat pulih begitu kondisi kembali kondusif.

Tidak hanya itu, sektor industri dan kesehatan masing-masing naik tipis 0,11%, menunjukkan ketahanan di tengah tekanan pasar. Industri manufaktur masih ditopang kebutuhan produksi berkelanjutan, sementara kesehatan menjadi sektor defensif yang selalu dicari investor sebagai tempat berlindung ketika pasar bergejolak.

Sebaliknya, sektor teknologi terkoreksi paling dalam hingga 1,86%, disusul keuangan yang melemah 1,73%, infrastruktur turun 1,36% serta properti yang melemah 0,94%. Artinya, pelemahan pasar tidak terjadi merata. 

Fenomena ini menegaskan bahwa pasar modal tidak pernah sepenuhnya gelap. Bahkan ketika IHSG jatuh karena demo maupun reshuffle kabinet, selalu ada sektor yang bertahan atau bahkan naik. Inilah peluang bagi investor untuk melakukan rotasi portofolio ke sektor-sektor yang lebih resilien, sambil tetap mengantisipasi risiko dari sektor yang tertekan.

Pergerakan IHSG dalam beberapa pekan terakhir adalah cerminan nyata bahwa pasar modal tidak pernah bebas dari ketidakpastian. Faktor politik domestik, aksi demonstrasi, hingga dinamika global semuanya bisa mempengaruhi arah indeks dalam jangka pendek.

Namun, dibalik ketidakpastian itu selalu ada peluang. Investor yang mampu membaca arah kebijakan, mengelola risiko, serta melakukan diversifikasi sektor justru bisa mendapatkan keuntungan signifikan.

Pasar modal pada dasarnya adalah arena jangka panjang. Ketidakpastian sesaat hanyalah riak kecil dalam perjalanan panjang ekonomi Indonesia. Karena itu, bagi investor yang disiplin, selalu ada ruang untuk tumbuh bahkan di saat pasar terlihat tidak menentu.